Rahasia di Balik Pecahan
Namaku Arga, kelas 5 SD. Ada satu pelajaran yang selalu bikin aku pengin pura-pura sakit perut: Matematika. Bukan karena aku nggak suka angka, tapi karena angka-angka itu suka bikin kepalaku berasap.
Hari ini, Bu Rani, guru Matematika kami, masuk kelas dengan wajah semangat. Tangannya memegang sebatang kapur seperti tongkat sihir.
“Anak-anak, PR kalian semalam sudah dikerjakan semua, kan?”
“Sudah, Bu…” sahut kami kompak.
“Bagus! Sekarang kita bahas. Soal pertama: 1/2 + 1/4 = ? Siapa yang mau jawab?”
Tanganku langsung menempel erat di bawah meja. Aku melirik papan tulis. 1/2 + 1/4? Waduh, ini pecahan lagi! Pecahan bagiku seperti monster yang punya banyak kepala. Potong satu kepala, muncul kepala lain.
“Arga!” suara Bu Rani memanggil namaku.
Aku kaget, hampir jatuh dari kursi. “I-iya, Bu?”
“Coba jawab soal nomor satu!”
Aku maju dengan langkah gemetar. Tangan dingin, hati panas.
Aku pegang kapur. Tulisan di papan tulis menatapku sinis. 1/2 + 1/4 = …
Aku diam. Aku tahu setengah itu besar. Seperempat itu kecil. Kalau digabung… berapa ya? Lidahku kelu. Teman-teman mulai bisik-bisik.
“Gimana, Arga?” tanya Bu Rani lembut.
“Eee… satu setengah, Bu?” jawabku asal.
Kelas langsung meledak ketawa.
“Arga! Itu bukan setengah-setengah!” ejek Rio, si juara kelas.
Mukaku panas. Rasanya pengin ngilang jadi semut. Bu Rani hanya tersenyum.
“Tidak apa-apa, Arga. Nanti kita pelajari lagi, ya.”
Sepulang sekolah, aku masih kepikiran. Di rumah, aku duduk di meja belajar menatap PR yang sama:
1/2 + 1/4 = ?
Aku menatap gelas susu di meja. Setengah penuh. Di sampingnya ada botol susu yang isinya tinggal seperempat. Aku tuang perlahan ke gelas. Sekarang gelas itu hampir penuh.
“Eh…” gumamku, “berarti kalau setengah kutambah seperempat, hampir penuh. Berarti hampir satu!”
Aku ambil kertas, gambar gelas. Kubagi jadi empat bagian. Warnai dua bagian untuk setengah, tambah satu bagian lagi untuk seperempat.
“Jadi tiga bagian dari empat! 3/4!” seruku.
Wajahku langsung berbinar. Aku merasa seperti detektif yang berhasil pecahkan kasus. Sejak saat itu, aku mulai pakai benda-benda di rumah buat belajar. Aku pakai roti, kue, bahkan sandal Mama buat pecahan! Mama sampai geleng-geleng.
Keesokan harinya, Bu Rani mengulang soal yang sama.
“Anak-anak, siapa mau jawab lagi soal ini? 1/2 + 1/4?”
Tanganku terangkat tinggi-tinggi.
“Silakan, Arga.”
Aku maju, menulis dengan percaya diri:
1/2 + 1/4 = 3/4
“Bagus, Arga! Sekarang jelaskan kenapa begitu.”
Aku senyum. “Soalnya kalau kita punya satu gelas dibagi empat, setengah gelas itu dua bagian. Ditambah seperempat, jadi tiga bagian. Jadi tiga per empat!”
Kelas langsung heboh.
“Wih, pinter!”
“Arga belajar dari gelas susu tuh!”
Bu Rani menepuk pundakku.
“Luar biasa, Arga! Kamu menemukan cara belajar sendiri. Itu yang paling hebat.”
Sejak hari itu, Matematika nggak lagi jadi monster bagiku. Dia jadi puzzle seru yang bisa kumakan. Kadang kalau aku belajar pecahan, Mama sampai heran kenapa kue di meja selalu cepat habis.
Aku cuma senyum.
“Ma, ini demi Matematika…”