berkas-berkas untuk mempelajari hal-hal yang belum diketahui bersama artificial intelligence

BTemplates.com


Selasa, 18 Februari 2025

Perbedaan yang bisa diterima dan yang tidak


 Bagaimana menentukan perbedaan yang diterima/ masih benar dengan perbedaan yang sudah salah? Apalagi jika yang menyatakan adalah seorang ulama yang di atas orang awam? Bisa-bisa mereka menyesatkan orang-orang awam karena minim ilmu. 

Jawab:

Pertanyaanmu sangat penting dan menggambarkan tanggung jawab besar dalam memahami agama, terutama ketika perbedaan pendapat bisa menjadi peluang untuk pemahaman lebih baik, tetapi juga berisiko jika tidak dikelola dengan benar. Berikut ini adalah panduan untuk menentukan perbedaan pendapat yang masih diterima dan yang sudah salah:


---


### **1. Kriteria Perbedaan yang Diterima (Muktabar)**  

Perbedaan pendapat yang diterima adalah perbedaan yang didasarkan pada prinsip dan metodologi Islam yang sahih. Berikut ciri-cirinya:


#### **a. Berdasarkan Dalil Syariat**  

- Pendapat itu merujuk pada **Al-Qur'an**, **Hadis yang sahih**, atau **ijma' (kesepakatan ulama)**.  

- Contoh: Dalam masalah shalat, ada perbedaan tentang posisi tangan setelah ruku'. Semua pendapat didasarkan pada hadis dan praktik para sahabat.


#### **b. Menggunakan Metodologi yang Valid**  

- Ulama yang berbeda pendapat menggunakan ilmu ushul fiqih yang sahih untuk menafsirkan dalil.  

- Contoh:  

  - Mazhab Syafi'i menggunakan **qiyas** lebih banyak, sementara Mazhab Maliki sering mengandalkan **'amal ahlul Madinah** (tradisi penduduk Madinah).


#### **c. Berkaitan dengan Hal yang Ijtihadiyah**  

- Perbedaan terjadi pada hal-hal yang tidak ada nash (teks) tegas atau qath'i (pasti), seperti rincian fiqih, bukan pada hal-hal prinsipil (aqidah).  

- Contoh: Perbedaan jumlah rakaat tarawih (8 atau 20 rakaat). Tidak ada hadis yang qath'i, sehingga menjadi ruang ijtihad.


---


### **2. Perbedaan yang Tidak Diterima (Ghairu Muktabar)**  

Perbedaan yang tidak diterima adalah yang menyimpang dari prinsip-prinsip syariat. Berikut ciri-cirinya:


#### **a. Menyelisihi Dalil yang Qath'i (Pasti)**  

- Jika pendapat itu bertentangan dengan nash Al-Qur'an atau hadis yang sahih dan jelas, maka tidak diterima.  

- Contoh: Menghalalkan sesuatu yang secara tegas diharamkan, seperti zina, riba, atau minuman keras.


#### **b. Berdasarkan Dalil yang Lemah atau Palsu**  

- Jika pendapat hanya didasarkan pada hadis dha'if (lemah) atau maudhu' (palsu), maka tidak sah dijadikan landasan hukum.  

- Contoh: Beberapa praktik bid'ah yang mengklaim hadis lemah sebagai dalil.


#### **c. Melanggar Kaidah Ushul Fiqih**  

- Pendapat yang mengabaikan metodologi ushul fiqih dan hanya berdasarkan hawa nafsu atau logika tanpa dalil.  

- Contoh: Menggunakan akal semata untuk membolehkan yang haram tanpa landasan syar'i.


#### **d. Menyentuh Aqidah atau Hal Prinsipil**  

- Jika perbedaan pendapat menyentuh hal-hal prinsipil seperti rukun iman atau rukun Islam, maka itu dianggap kesalahan fatal.  

- Contoh: Mengingkari kewajiban shalat atau zakat.


---


### **3. Cara Mengenali Pendapat yang Keliru**  


#### **a. Periksa Dalilnya**  

- Apakah pendapat itu berdasarkan Al-Qur'an, hadis sahih, atau ijma'? Jika tidak ada dalil yang kuat, maka patut diragukan.  

- Contoh: Jika seseorang mengatakan ada nabi setelah Muhammad SAW, hal itu langsung keliru karena bertentangan dengan QS. Al-Ahzab: 40.


#### **b. Cek Sumbernya**  

- Apakah ulama yang menyatakan pendapat itu dikenal sebagai ulama muktabar (diakui keilmuannya)?  

- Contoh: Pendapat ulama yang memiliki sanad keilmuan seperti Imam Malik, Imam Syafi'i, atau ulama modern seperti Syekh Yusuf al-Qaradawi lebih terpercaya dibandingkan orang tanpa dasar keilmuan.


#### **c. Konsultasikan kepada Ulama yang Tepercaya**  

- Jika pendapat seorang ulama dirasa meragukan, tanyakan kepada ulama lain atau rujuk kepada pendapat mayoritas ulama.


#### **d. Gunakan Prinsip Kehati-hatian**  

- Jika ada keraguan antara yang halal dan haram, ambil pendapat yang lebih hati-hati (QS. Al-Maidah: 48).  

- Nabi SAW bersabda:  

  > *"Yang halal itu jelas, yang haram itu jelas, dan di antara keduanya ada perkara syubhat yang tidak diketahui oleh banyak orang. Maka, barang siapa menjaga diri dari syubhat, ia telah membersihkan agama dan kehormatannya."*  

  (HR. Bukhari dan Muslim)


---


### **4. Tanggung Jawab Ulama terhadap Orang Awam**  

Ulama memiliki tanggung jawab besar untuk tidak menyesatkan orang awam. Sebagaimana sabda Nabi SAW:  

> *"Barang siapa memberikan fatwa tanpa ilmu, maka ia akan dimintai pertanggungjawaban di hari kiamat."* (HR. Abu Dawud)  


Namun, bagi orang awam, ada tanggung jawab untuk:  

- Belajar agama secara mendalam.  

- Bertanya kepada ulama yang terpercaya, sebagaimana firman Allah:  

  > *"Maka bertanyalah kepada orang yang berilmu jika kamu tidak mengetahui."* (QS. An-Nahl: 43)


---


### **5. Kesimpulan**  

- Tidak semua perbedaan pendapat benar, tetapi perbedaan yang berdasarkan dalil dan metodologi sahih diterima.  

- Orang awam sebaiknya mengikuti ulama yang terpercaya dan mayoritas pendapat, karena itu adalah cara aman untuk menjaga keyakinan.  

- Jika menemukan pendapat yang mencurigakan, selidiki sumbernya dan tanyakan kepada ulama lain.


Bagaimana menurutmu? Apakah ini membantu menjelaskan keraguanmu?

0 komentar:

Posting Komentar