berkas-berkas untuk mempelajari hal-hal yang belum diketahui bersama artificial intelligence

BTemplates.com


Sabtu, 22 November 2025

kelemahan sistem matan dan syarah dalam tradisi pondok pesantren


 Sistem kitab matan–syarah–hasyiyah di pesantren memang menunjukkan kedalaman berpikir, tapi juga berpotensi membuat tradisi berpikir berputar di dalam lingkaran teks, bukan pada realitas hidup yang berubah.

Mari kita bedah perlahan. 👇


📜 1. Tradisi kitab kuning: warisan besar intelektual Islam

Kitab kuning, khususnya matan dan syarah-nya, adalah puncak dari budaya keilmuan Islam klasik.

  • Matan berisi inti ilmu dalam bentuk singkat dan padat (seperti rumus dalam bahasa Arab klasik).

  • Syarah adalah penjelasan panjang lebar untuk membuka makna tersembunyi, menyelesaikan perbedaan pendapat, dan mengaitkan dengan dalil.

  • Kadang ada hasyiyah (catatan pinggir), bahkan taqrir (penegasan ulang).

Sistem itu menunjukkan:

Keseriusan, kedisiplinan, dan kecintaan luar biasa terhadap ilmu dan nash (teks).
Santri diajari untuk berpikir teliti, berdebat dengan sopan, dan mengurai makna dari setiap kata.

Jadi, secara epistemologis, itu tradisi intelektual yang mendalam dan sistematis — bahkan mirip dengan tradisi commentary dalam filsafat Yunani dan teologi abad pertengahan di Eropa.


⚖️ 2. Namun sisi lemahnya: stagnasi epistemologis

Masalah muncul ketika tradisi syarah menjadi tujuan akhir, bukan jalan menuju penemuan baru.

  • Santri diajari memahami apa yang dikatakan ulama, bukan bagaimana menemukan kebenaran baru.

  • Kegiatan berpikir menjadi taqlid teks, bukan ijtihad kontekstual.

  • Realitas sosial dan ilmiah diabaikan karena dianggap “tidak termasuk pembahasan fiqih.”

Akibatnya, muncul kesenjangan antara teks dan realitas.
Sementara Barat mengembangkan sains dari pengamatan alam (empiri), dunia Islam sering sibuk dengan pengulangan dan tafsir atas tafsir.


🔬 3. Ijtihad sejati membutuhkan dua sayap: teks dan konteks

Ijtihad sejati bukan hanya kemampuan memahami teks (nash), tapi juga kemampuan membaca dunia nyata.

  • Al-Qur’an sendiri berulang kali menyuruh manusia melihat, meneliti, memperhatikan langit dan bumi.

  • Jadi ijtihad tanpa sains hanyalah tafsir ulang teks lama.

  • Dan sains tanpa nilai agama bisa kehilangan arah moral.

➡️ Maka benar seperti katamu:

“Kalau ingin berijtihad, selain perlu ilmu agama juga membutuhkan sains dan teknologi yang sebanding.”

Inilah inti masalah umat modern: ketimpangan antara tafsir teks dan tafsir realitas.


🧠 4. Paradigma pesantren yang perlu berkembang

Pesantren punya potensi besar untuk melahirkan ulama-intelek atau ilmuwan-ulama, jika:

  • Kitab klasik dipahami bukan sebagai doktrin beku, tetapi jendela menuju metode berpikir ilmiah.

  • Santri diajak tidak hanya membaca syarah, tapi juga membuat “syarah baru” terhadap kehidupan modern.

  • Kurikulumnya menyeimbangkan ulumuddin (ilmu agama) dengan ulum kauniyyah (ilmu alam dan sosial).

Dengan begitu, pesantren bisa menjadi tempat lahirnya ijtihad ilmiah — bukan hanya ijtihad hukum, tapi juga ijtihad sosial, pendidikan, ekonomi, dan teknologi.


🌱 5. Refleksi filosofis

Tradisi syarah adalah bentuk cinta kepada ilmu masa lalu,
tapi setiap cinta sejati harus melahirkan kehidupan baru — bukan hanya mengabadikan kenangan lama.

Ulama besar masa lalu seperti Al-Ghazali, Ibnu Sina, Al-Farabi, dan Ibnu Khaldun tidak berhenti pada teks;
mereka justru mencipta disiplin baru dari hasil tafsir terhadap kenyataan.

“Mereka membaca kitab Allah di langit dan bumi, bukan hanya kitab di rak.”


💬 Kesimpulan

Kamu sepenuhnya benar:

  • Kitab kuning melatih kedalaman dan ketelitian berpikir.

  • Tapi ijtihad dan penemuan baru hanya tumbuh jika keilmuan agama disertai pengamatan empiris, riset, dan ilmu modern.

Agama dan sains bukan dua jalan yang berlawanan;
agama memberi arah, sains memberi daya.
Dan ijtihad sejati lahir ketika akal dan wahyu bekerja bersama untuk memahami dunia dan menebar manfaat.



0 komentar:

Posting Komentar